Mental Budak: Sebuah Potret Remaja Indonesia

Yoi. Lo gak salah baca judul gue kok. “Mental Budak”. Maksud gue nulis ini apa?

Semacam Potret Generasi Kita

Pernah sadar gak, kita sebagai pelajar (mayoritas / umumnya) hanya mau belajar kalau disuruh? Belajar kalau ada hadiah yang mengiringi nilai memuaskan? Kalau liburan / ada waktu selang, bisanya main game, buang waktu, and what not? Ngerasa kalau sibuk”kerja” itu seakan-akan pressure banget sampai stres?

Intinya: males banget.

Kalau buat sesuatu yang nggak bakal terima perhatian dari orang lain, akan ngerasa buat hal itu pointless? Kalau aktivitas lo gak ada yang tau, lo gak hip (misal: ke restoran bagus musti banget nge-snapchat keberadaan lo di mana, makan apa, sama siapa). Sadar juga gak, bahwa kita gak ada masa depan kalau kerjanya kayak begini terus?

Intinya: lo musti diliatin, kalau nggak, hidup lo gak greget.

Gak usah sok-sok suci di sini. Kita terima realitas dan buka-bukaan kebusukkan kita aja. Yang namanya tumor harus dibuka dan diangkat untuk dibuang supaya nggak membahayakan tubuh. Sama dengan kita: kalau gak membuka kesalahan kita, kita gak maju-maju.

Sekian pendahuluan gue untuk membuat elo sadar akan keadaan kita. Sekarang waktunya gue kasih MRI Scan ke elo betapa bahaya tumor yang sedang meradang ini.

Generasi “Mas, password Wifi-nya apa ya?”

Ngaku deh, kita kalau ke tempat yang gak ada tulisan “Free Wifi”-nya pun, kita minta password Wifi ketika menemukan Wifi tempat itu di settings HP kita (btw ada yang tahu gak kepanjangan dari “Wifi” apa? Gue yakin 90% dari elo gak tahu). Because we’re just plain that: millennials who can’t live without the internet.

Buat kita yang belum pernah hidup di tempat tanpa internet dan smartphone, kita gak bisa hidup tanpa internet. Karena nyatanya, hidup kita berpusat di internet. Seperti yang udah gue potretin di atas, aktivitas kita di-power oleh internet. Kalau lo gak chattingan sama temen, lo lonely (padahal kalau ketemu di dunia nyata belum tentu ngobrol). Kalau gak ngeliatin instagram, gak update (terus gak bisa nge-“first like”-in orang).

Sadar nggak kalau kita sebenarnya sedang diperbudak oleh internet? Lo merasa kalau followers instagram lo udah sampe ribuan, lo “popular”. Padahal, emang lo siapa sih? Lo cuman satu account dari jutaan account lain yang mem-post foto kehidupan lo ke dunia. Lo pernah buat apa di kehidupan nyata? Lo pernah sumbangsih apa ke negara kita yang semakin mundur ini (oh iya, ya. Kita bersumbangsih dalam memperkotor udara Indonesia yang kind menjadi polutan ke-3 terbesar di dunia)? Apa makna hidup lo sampe lo musti hidup sampai saat ini?

Lebih parah lagi, kita bukan cuman diperbudak internet, tapi oleh dosa-dosa kita sendiri. Games. Wattpad. You name it. Gue bukannya bilang hal-hal itu negatif ya. Semua hal yang dicipta manusia untuk manusia pasti ada gunanya. Tapi lagi-lagi, salahnya di kita. Kita yang nggak mau mengendalikan diri, kita yang dikendalikan oleh diri.

It’s the enemy within, bro.

Mau sampai kapan kita hidup sama mental budak yang kayak gini? Guru agama gue di sekolah selalu bilang kalau zaman kita bukannya semakin maju, tapi semakin mundur. Daan Mogot (dia bukan sekadar nama jalan. Dia pahlawan) udah bikin sekolah militer umur 15 tahun. Nah kita? Kita mikirin makan diri sendiri aja nggak bisa, apalagi mikirin masa depan.

Tanya remaja yang lo kenal. Pasti sebagian besar belum tau hidup ke depan mau ngapain. Kenapa? Hate to break it to you, brother, tapi lo masih hidup dalam mimpi dan nggak siap menghadapi realitas.

“Ngga kok. Gue tau gue mau ngapain ke depan. Gue mau hasilin uang yang banyak supaya gue hidup bahagia.”

Nah itu. Lo digerakkan oleh apa? Hati lo? Hati lo digerakkan oleh apa? Ujung-ujungnya, kita mau belajar mata kuliah yang mendatangkan banyak uang, mau ngelakuin hal yang duitnya ngalir banyak; kita mengorbankan apa yang benar-benar ingin kita lakukan. Kita diperbudak oleh uang. 

Atau mungkin lo menganggap tulisan gue ini gak pengaruh sama elo karena lo popular di sekolah, all people look up to you–hey, orang yang “look up to you” cuman di lingkungan sekolah, alias cupu. Bangun. Popularity doesn’t matter. Tapi nyatanya, lo mau diri lo diperbudak oleh popularitas. You may be Queen Bee, but that’s only in your little school bubble that will pop in less than three years.

 Indonesia Mau Ke Mana?

Wake up. Masa depan bangsa kita di tangan kita; malah kita adalah masa depan bangsa. Lo greget sama mereka yang sekarang duduk di kursi pemerintahan? Supaya lo tahu aja, kalau kita nggak mulai perubahan dari diri kita sendiri, bangsa ini nggak ada masa depannya.

Lo nggak peduli politik? Nggak peduli dengan apa yang sedang terjadi? Kalau gitu, gak usah makan dan hidup dari Indonesia aja sekalian. Sadar! Ini jati diri kita sebagai manusia yang dilahirkan di tanah Bhinekka Tunggal Ika. Kalau kita nggak berbagian dalam membawa negara kita ke arah lebih baik, kita sampah masyarakat. Nggak ada yang namanya di tengah-tengah (nggak lebih baik, nggak lebih buruk). Kebenaran itu biner, cuy. 

Sejujurnya, Indonesia belum merdeka. Mental kita, generasi masa depan, yang kepo akan segala sesuatu yang nggak penting, sedangkan yang penting, kita nggak pentingin. Mental yang kalau lo nggak diterima society lo cupu. So what, man, kalau lo nggak punya temen? Yang bikin elo orang yang lebih berharga dari yang lain, yang bikin diri elo berintegritas dan mengukir nama dalam sejarah, adalah lo menjadi diri elo sendiri yang berdasar pada kebenaran. To hell with what people think! Mereka nggak nyuapin elo, mereka nggak kasih napas hidup elo. Kenapa risih banget sama pandangan mereka tentang elo? Kenapa butuh banget dapet perhatian dari mereka yang nggak akan mati buat elo, ketika elo sudah dapet 100% perhatian dari Pencipta elo?

Pesan gue ngomong panjang lebar gini cuman satu. Lo kesel sama Indonesia? Lo pikir “nggak ada yang bisa dibanggain sama Indonesia ini”? Kalau kita nggak ngapa-ngapain, negara ini nggak ke mana-mana. Kalau kita nggak buang mental budak itu, bangsa ini akan terus di bawah penjajahan sampai kiamat. Kalau kita nggak berdiri sendiri, negara yang  lo benci ini, akan terus jadi Indonesia yang lo benci. Nggak bakal bisa nandingin negara-negara dunia pertama.

Kita jangan cuman bisa ngambil cara gaya-gaya orang Barat, gaya-gaya yang gak semuanya positif, cuman bisa jadi fans negara lain. Ambil dong cara pikir mereka yang independent, etos kerja mereka yang Reformed, mental mereka yang tahan banting. Jangan cuman bisa cari-cari perhatian orang doang. Buatlah alasan untuk elo masih hidup di dunia ini, untuk Indonesia yang sekarat ini. Make your presence count.

Let’s stop being spoilt. It’s time to wake up and grow up. Dreams don’t last forever, because we have to make it into reality.

(biya 2017)

13 Replies to “Mental Budak: Sebuah Potret Remaja Indonesia”

  1. Good writing! I’ve never found myself brave enough to write like this. Bravery without knowledge is folly, but I found your writing to have both quality simultaneously. I hope that your writing can reach many youths. God bless you!
    I’m also offering one critical response: Please take off the word “bidecimal”, or provide explanation for what the word means. As far as I know, it cannot be a synonym to binary number. Correct me if I’m wrong.

    Like

    1. Hi there! Thanks a lot for stopping by to read this. God bless you too, and I hope your bravery may add up. Yes, that was a mistake (oops), I’ll edit it right now. Again, thanks a lot!

      Like

  2. I would have to confess that i have not duly read this yet when i said i had (panicked).
    I find it commendable when u pour out ur thoughts. Cause once again what are thoughts good for if they’re not converted into some sort of reality (such as writings or actions) and i would have to say that there are far too few people that are reading this because many deserves to know, let me rephrase that, many needs to know.

    Like

I would love to hear from you. Leave a comment.